ADVOKAT/PENGACARA & PENASEHAT HUKUM Jepara,Kudus,Demak,Semarang |
1.
gambaran sistem peradilan pidana
indonesia
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) pada dasarnya terbentuk sebagaibagian dari
upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari bentuk - bentuk
perilakusosial yang ditetapkan secara hukum sebagai suatu kejahatan. Di samping
itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan
pengendalian sosial oleh negara. Upaya
memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat melalui Sistem
PeradilanPidana merupakan rangkaian dari kegiatan instansional Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan danLembaga Pemasyarakatan. Yang semuanya bertolak dari
acuan yang sama, yaitu perangkatkebijakan kriminal (criminal policy). Termasuk di dalamnya adalah hukum pidana,
hukumacara pidana, dan undang-undang yang mengatur kekuasaan masing-masing
subsistem peradilanpidana (UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Kehakiman, UU
Lembaga Pemasyarakatan).
Hukum Acara Pidana di Indonesia diatur dalam Kitab
Undang undang Hukum AcaraPidana (KUHAP), UU No. 8 Tahun 1981 yang diundangkan
dalam Lembar Negara (LN) No.76/1981 dan penjelasan dalam Tambahan Lembar Negara
Republik Indonesia (TLNRI) No.3209.Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang
Hukum Acara Pidana Nasionaltersebut, maka bangsa Indonesia telah selangkah
lebih maju dalam usaha mengadakanpembaharuan hukum, yaitu dari hukum kolonial
menjadi hukum nasional. Undang-undang yanglebih dikenal dengan KUHAP ini menjelaskan
suatu perombakan total dari Hukum Acara PidanaKolonial yaitu HIR (Herzienne Indische Reglement). KUHAP memuat perubahan yang sangatmendasar
dalam aturan secara pidana dan secara konseptual
obyektivitas/keterbukaan,keprofesionalan aparat penegak hukum dalam melindungi
hak asasi manusia.Hukum Acara Pidana dibentuk sebagai pedoman bagi aparat
penegak hukum dalammenegakkan hukum. Dalam Konsiderans KUHAP, memuat tentang
alasan-alasan dibentuknyaKUHAP, antara lain :
1. Agar
masyarakat menghayati hak dan kewajibannya
2. Untuk
meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan
fungsidan wewenang masing-masing
3. Tegaknya
hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
4. Ketertiban
serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai denganamanat
UUD 1945.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum sebagaimana disebutkan di atas,
dibutuhkansuatu organisasi yang cukup kompleks. Tanpa adanya organisasi
tersebut hukum tidak bisadijalankan dalam masyarakat. Organisasi tersebut
adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan danLembaga Pemasyarakatan serta badan
perundang undangan. Melalui organisasi serta proses-proses yang berlangsung di
dalamnya, masyarakat memperoleh perwujudan dari tujuan-tujuanhukum. Keadilan
misalnya, kini tidak lagi diberikan kepada anggota masyarakat dalam
bentuk konsep yang abstrak, melainkan benar-benar pensahan sesuatu.
Kepastian hukum menjadi
terwujud melalui keputusan-keputusan Hakim. Ketertiban
dan keamananan menjadi sesuatu yangnyata melalui tindakan-tindakan Polisi yang
diorganisir oleh Kepolisian.Dalam kerangka demikian, secara internal dan
eksternal sistem peradilan harusberorientasi pada tujuan yang sama ( purposive behavior ). Pendekatannya harus bersifatmenyeluruh dan
jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih
besar,operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value
transformation)
keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan
adanya mekanisme kontrol dalam rangkapengendalian secara terpadu.
Berarti terdapat juga kesamaan pendapat atau persepsi
terhadap tujuan hukum acarapidana, sehingga masing-masing lembaga yang terkait
dalam proses peradilan pidana tidak hanyamelihat kepentingannya, tetapi melihat
keseluruhan kepentingan dari proses peradilan pidana. Proses Peradilan Pidana yang merupakan proses bekerjanya
organisasi-organisasiterutama Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan,
menggunakankonsep penyelenggaraan dan pengelolaan peradilan menurut sistem yang
dikenal dengan
systemapproach, yaitu penanganan secara sistemik terhadap
administrasi peradilan.Pembagian tugas dan wewenang diantara masing-masing
organisasi merupakan prinsipdiferensial fungsional.
Hal ini dimaksudkan untuk secara tegas menghindari
adanya tumpangtindih dikarenakan telah adanya pembagian tugas dan wewenang yang
jelas.Artinya,berdasarkan prinsip diferensial fungsional ini ditegaskan
pembagian tugas dan wewenang antaraaparat penegak hukum secara instansional,
dimana KUHAP meletakan suatu asas “penjernihan” dan
modifikasi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.Penjernihan
diferensiasi fungsi dan wewenang terutama diarahkan antara Kepolisian
danKejaksaan seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 jo Pasal 1 butir 6
huruf a jo Pasal 13KUHAP. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa :
a. Penyidik
adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipiltertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan
penyidikan(Pasal 1 butir 1 KUHAP)
b. Penyelidik
adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
olehundang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.( Pasal 1 butir 4 KUHAP)
c. Jaksa adalah
pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak
sebagaiPenuntut Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatanhukum tetap (Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP)
d. Penuntut Umum
adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan putusan hakim (Pasal 13 KUHAP).Sesuai dengan Pasal
14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian NegaraRepublik
Indonesia, tugas Kepolisian adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadapsemua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undanganlainnya. Secara rinci, tugas Polisi di bidang represif
menurut Gerson W Bawengan adalahmenghimpun bukti-bukti sehubungan dengan
pengusutan perkara, melakukan penahanan untuk kemudian diserahkan kepada
Kejaksaan selaku Penuntut Umum untuk diteruskan ke Pengadilan.
Sedangkan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf a UU No. 16
Tahun 2004 TentangKejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan mempunyai wewenang
dan tugas untuk melakukanpenuntutan. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal
tersebut dinyatakan bahwa dalam melakukanpenuntutan, Jaksa dapat melakukan
prapenuntutan, yaitu serangkaian tindakan Jaksa untuk memantau
perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya
penyidikandari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas hasil
penyidikan yang diterima daripenyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi
oleh penyidik untuk dapat menentukanapakah berkas perkara tersebut dapat
dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
Dengan
demikian Jaksa selaku Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk menerimadan
memeriksa Berkas Perkara Penyidikan dari Penyidik atau Penyidik Pembantu,
mengadakan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal110 ayat (3) dan (4) KUHAP, serta
serangkaian tindakan yang lain yaitu :
1. memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik.
2. memberikan
perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan danatau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik.
3. membuat surat
dakwaan.
4. melimpahkan
perkara ke Pengadilan.
5. menyampaikan
pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkaradisidangkan, yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa, maupun
kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan
6. melakukan
penuntutan
7. menutup
perkara demi kepentingan hukum
8. mengadakan
tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut
Umummenurut ketentuan Undang-Undang ini
9. melaksanakan
penetapan Hakim.
Pada tahap pra penuntutan, memang posisi Jaksa sebagai Penuntut Umum
amatbergantung pada peran yang dimainkan oleh Polisi dalam tahap penyelidikan
dan penyidikan.Meskipun didalam KUHAP kewenangan Jaksa tidak lagi sebesar
peranan yang dimain kannyaketika HIR masih berlaku, yang menyatakan kewenangan
penyelidikan dan penyidikan punmenjadi kompetensinya.Berdasarkan aturan-aturan
KUHAP tersebut di atas, jelas dapat dilihat pembatasan yang tegas antara
fungsi dan wewenang Kepolisian sebagai “Penyidik” dan Kejaksaan
sebagai“Penuntut Umum” dan “Pelaksana Putusan Hakim”.Penjernihan pembagian fungsi dan wewenang yang diatur dalam KUHAP
membawakemajuan dalam kehidupan penegakan hukum, khususnya dalam proses
penyidikan. Karenaseringkali sebagai dampak campur aduknya tugas penyidikan
dalam beberapa instansi,membawa tragedi pengalaman dan ketidakpastian hukum.
Seorang tersangka yang sudah berbulan bahkan bertahun diperiksa, dan diproses
verbal oleh Kepolisian, dengan
pemeriksaan yang lama dan kadang bertele-tele, tidak
jarang membuat tersangka kewalahan dantertekan batin. Akan tetapi belum sembuh
beban fisik dan psikologis yang dialaminya, ia harusmenghadapi lagi pihak
Kejaksaan untuk menyidiknya dengan pertanyaan yang kurang lebihsama, seperti
yang pernah ditanyakan oleh penyidik dari pihak Kepolisian.
Hal demikianmenimbulkan pertanyaan, apakah proses
penyidikan itu merupakan sebuah proses untuk mencaridan menemukan kebenaran,
atau semata-mata hanya untuk menyiksa dan mempermainkan.Seringkali pada saat
tersangka diperiksa oleh Kepolisian, dalam waktu yang bersamaan
pihak Kejaksaan melakukan penyidikan. Sehingga timbul kesan terjadi
persaingan, akibatnya seringdijumpai BAP yang saling bertentangan antara yang
satu dengan yang lain, yang membuatbingung tersangka dan sidang pengadilan.
Untuk itu, prinsip diferensial fungsional
mempunyai tujuan utama, yaitu :
1. Untuk
menghilangkan proses penyidikan yang tumpang tindih antara Kepolisian
danKejaksaan
2. Menjamin
kepastian hukum dalam proses penyidikan
3. Menyederhanakan
dan mempercepat proses penyelesaian perkara
4. Memudahkan
pengawasan pihak atasan secara struktural.
Dalam pengelolaan sistem peradilan secara sistemik ini
proses peradilan pidanadiselenggarakan secara terpadu. Dimulai dari adanya
kejahatan baik yang dilaporkan olehmasyarakat maupun yang diketahui oleh Polisi
sendiri. Tindakan yang dilakukan oleh Polisiselaku aparat penyidik adalah
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaanserta serangkaian
tindakan penyidikan lainnya.
Apabila proses tersebut sudah selesai, ada duatindakan
yang dapat dilakukan oleh Polisi.
Pertama, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) akandiserahkan
kepada Kejaksaan apabila bukti-bukti sudah dianggap cukup.Kedua,mendeponirperkara dengan alasan karena perkara
tersebut adalah perkara kecil dan tidak membahayakanmasyarakat, atau dengan
alasan tidak cukup bukti-bukti yang dibutuhkan Pihak Kejaksaan setelah menerima BAP dari Polisi, melakukan
tindakan-tindakansebagai berikut;
pertama
apabila Penuntut Umum menganggap perkara
itu patut untuk diajukanke Pengadilan, maka akan dibuat Surat Dakwaan. Proses
pelimpahan perkara dari Kejaksaan kePengadilan ini disebut Penuntutan,
kedua
Penuntut Umum dapat menghentikan
penuntutandangan alasan tidak terdapat cukup bukti atau ternyata bukan tindak
pidana atau menutupperkara demi hukum.Hubungan deferensial fungsional antara
Jaksa dengan Polisi dapat dilihat bahwa Jaksasebagai Penuntut Umum tugasnya
adalah khusus melakukan penuntutan - kecuali terhadap delik-delik tertentu-
Jaksa mempunyai wewenang untuk menyidik. Sedangkan Polisi khususnyabertugas
sebagai penyidik.Selain hubungan koordinasi seperti tersebut di atas, masih ada
hubungan koordinasifungsional antara aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian
sebagai penyidik, Kejaksaansebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan Hakim,
serta hubungan Penyidik denganPengadilan/Hakim dalam proses prapenuntutan
2. asas yang berlaku di dalam sistem
peradilan di Indonesia.
Sistem
peradilan pidana di indonesia yang berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun
1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut:
- Perlakuan
yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun;
- Asas
praduga tak bersalah;
- Hak
untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi
- Hak
untuk memperoleh bantuan hukum;
- Hak
kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
- Peradilan
yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sedehana;
- Peradilan
yang terbuka untuk umum;
- Pelanggaran
atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, pengeledahan dan
penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat
perintah (tertulis);
- Hak
seseorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan
pendakwaan terhadapnya;
- Kewajiban
pengadilan dan mengendalikan putusannya.
Asas persamaan atau kesederajatan dimuka hukum, ini berarti
tidak ada perbedaan perlakuan terhadap siapapun juga Pasal 5 Undang-undang
Nomor 14 tahun 1970 dengan tegas menyebutkan;
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan
orang.
Dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari
keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk dapat terciptanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Penjelasan umum angka 3 huruf a KUHAP mengatakan: “Perlakuan
yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan
perlakuan’.
Asas Praduga Tak bersalah (Presumption of innocence) Asas
ini disebut dalam undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman. yang menjelaskan di Pasal 8 ayat (1) :
Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.