Gambaran Sistem Peradilan di Indonesia



ADVOKAT/PENGACARA & PENASEHAT HUKUM Jepara,Kudus,Demak,Semarang
1.              gambaran sistem peradilan pidana indonesia
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) pada dasarnya terbentuk sebagaibagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari bentuk - bentuk perilakusosial yang ditetapkan secara hukum sebagai suatu kejahatan. Di samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan pengendalian sosial oleh negara. Upaya memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat melalui Sistem PeradilanPidana merupakan rangkaian dari kegiatan instansional Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan danLembaga Pemasyarakatan. Yang semuanya bertolak dari acuan yang sama, yaitu perangkatkebijakan kriminal (criminal policy). Termasuk di dalamnya adalah hukum pidana, hukumacara pidana, dan undang-undang yang mengatur kekuasaan masing-masing subsistem peradilanpidana (UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Kehakiman, UU Lembaga Pemasyarakatan).
Hukum Acara Pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang undang Hukum AcaraPidana (KUHAP), UU No. 8 Tahun 1981 yang diundangkan dalam Lembar Negara (LN) No.76/1981 dan penjelasan dalam Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia (TLNRI) No.3209.Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana Nasionaltersebut, maka bangsa Indonesia telah selangkah lebih maju dalam usaha mengadakanpembaharuan hukum, yaitu dari hukum kolonial menjadi hukum nasional. Undang-undang yanglebih dikenal dengan KUHAP ini menjelaskan suatu perombakan total dari Hukum Acara PidanaKolonial yaitu HIR (Herzienne Indische Reglement). KUHAP memuat perubahan yang sangatmendasar dalam aturan secara pidana dan secara konseptual obyektivitas/keterbukaan,keprofesionalan aparat penegak hukum dalam melindungi hak asasi manusia.Hukum Acara Pidana dibentuk sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalammenegakkan hukum. Dalam Konsiderans KUHAP, memuat tentang alasan-alasan dibentuknyaKUHAP, antara lain :
1.      Agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya
2.      Untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsidan wewenang masing-masing
3.      Tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
4.      Ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai denganamanat UUD 1945.
 Untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum sebagaimana disebutkan di atas, dibutuhkansuatu organisasi yang cukup kompleks. Tanpa adanya organisasi tersebut hukum tidak bisadijalankan dalam masyarakat. Organisasi tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan danLembaga Pemasyarakatan serta badan perundang undangan. Melalui organisasi serta proses-proses yang berlangsung di dalamnya, masyarakat memperoleh perwujudan dari tujuan-tujuanhukum. Keadilan misalnya, kini tidak lagi diberikan kepada anggota masyarakat dalam bentuk konsep yang abstrak, melainkan benar-benar pensahan sesuatu. Kepastian hukum menjadi  
terwujud melalui keputusan-keputusan Hakim. Ketertiban dan keamananan menjadi sesuatu yangnyata melalui tindakan-tindakan Polisi yang diorganisir oleh Kepolisian.Dalam kerangka demikian, secara internal dan eksternal sistem peradilan harusberorientasi pada tujuan yang sama ( purposive behavior ). Pendekatannya harus bersifatmenyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar,operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value transformation)
keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan adanya mekanisme kontrol dalam rangkapengendalian secara terpadu.
Berarti terdapat juga kesamaan pendapat atau persepsi terhadap tujuan hukum acarapidana, sehingga masing-masing lembaga yang terkait dalam proses peradilan pidana tidak hanyamelihat kepentingannya, tetapi melihat keseluruhan kepentingan dari proses peradilan pidana. Proses Peradilan Pidana yang merupakan proses bekerjanya organisasi-organisasiterutama Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, menggunakankonsep penyelenggaraan dan pengelolaan peradilan menurut sistem yang dikenal dengan
systemapproach, yaitu penanganan secara sistemik terhadap administrasi peradilan.Pembagian tugas dan wewenang diantara masing-masing organisasi merupakan prinsipdiferensial fungsional.
Hal ini dimaksudkan untuk secara tegas menghindari adanya tumpangtindih dikarenakan telah adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas.Artinya,berdasarkan prinsip diferensial fungsional ini ditegaskan pembagian tugas dan wewenang antaraaparat penegak hukum secara instansional, dimana KUHAP meletakan suatu asas “penjernihan” dan modifikasi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.Penjernihan diferensiasi fungsi dan wewenang terutama diarahkan antara Kepolisian danKejaksaan seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 jo Pasal 1 butir 6 huruf a jo Pasal 13KUHAP. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa :
 
a.       Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipiltertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan(Pasal 1 butir 1 KUHAP)
b.      Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang olehundang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.( Pasal 1 butir 4 KUHAP)
c.       Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagaiPenuntut Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatanhukum tetap (Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP)
d.      Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim (Pasal 13 KUHAP).Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian NegaraRepublik Indonesia, tugas Kepolisian adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadapsemua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undanganlainnya. Secara rinci, tugas Polisi di bidang represif menurut Gerson W Bawengan adalahmenghimpun bukti-bukti sehubungan dengan pengusutan perkara, melakukan penahanan untuk kemudian diserahkan kepada Kejaksaan selaku Penuntut Umum untuk diteruskan ke Pengadilan.
Sedangkan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf a UU No. 16 Tahun 2004 TentangKejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan mempunyai wewenang dan tugas untuk melakukanpenuntutan. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa dalam melakukanpenuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan, yaitu serangkaian tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikandari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas hasil penyidikan yang diterima daripenyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukanapakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
Dengan demikian Jaksa selaku Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk menerimadan memeriksa Berkas Perkara Penyidikan dari Penyidik atau Penyidik Pembantu, mengadakan  
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal110 ayat (3) dan (4) KUHAP, serta serangkaian tindakan yang lain yaitu :
1.      memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik.
2.      memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan danatau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik.
3.      membuat surat dakwaan.
4.      melimpahkan perkara ke Pengadilan.
5.      menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkaradisidangkan, yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa, maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan
6.      melakukan penuntutan
7.      menutup perkara demi kepentingan hukum
8.      mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umummenurut ketentuan Undang-Undang ini
9.      melaksanakan penetapan Hakim.
 Pada tahap pra penuntutan, memang posisi Jaksa sebagai Penuntut Umum amatbergantung pada peran yang dimainkan oleh Polisi dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.Meskipun didalam KUHAP kewenangan Jaksa tidak lagi sebesar peranan yang dimain kannyaketika HIR masih berlaku, yang menyatakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan punmenjadi kompetensinya.Berdasarkan aturan-aturan KUHAP tersebut di atas, jelas dapat dilihat pembatasan yang tegas antara fungsi dan wewenang Kepolisian sebagai “Penyidik” dan Kejaksaan sebagai“Penuntut Umum” dan “Pelaksana Putusan Hakim”.Penjernihan pembagian fungsi dan wewenang yang diatur dalam KUHAP membawakemajuan dalam kehidupan penegakan hukum, khususnya dalam proses penyidikan. Karenaseringkali sebagai dampak campur aduknya tugas penyidikan dalam beberapa instansi,membawa tragedi pengalaman dan ketidakpastian hukum. Seorang tersangka yang sudah berbulan bahkan bertahun diperiksa, dan diproses verbal oleh Kepolisian, dengan   
pemeriksaan yang lama dan kadang bertele-tele, tidak jarang membuat tersangka kewalahan dantertekan batin. Akan tetapi belum sembuh beban fisik dan psikologis yang dialaminya, ia harusmenghadapi lagi pihak Kejaksaan untuk menyidiknya dengan pertanyaan yang kurang lebihsama, seperti yang pernah ditanyakan oleh penyidik dari pihak Kepolisian.
Hal demikianmenimbulkan pertanyaan, apakah proses penyidikan itu merupakan sebuah proses untuk mencaridan menemukan kebenaran, atau semata-mata hanya untuk menyiksa dan mempermainkan.Seringkali pada saat tersangka diperiksa oleh Kepolisian, dalam waktu yang bersamaan pihak Kejaksaan melakukan penyidikan. Sehingga timbul kesan terjadi persaingan, akibatnya seringdijumpai BAP yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain, yang membuatbingung tersangka dan sidang pengadilan.
 Untuk itu, prinsip diferensial fungsional mempunyai tujuan utama, yaitu :

1.      Untuk menghilangkan proses penyidikan yang tumpang tindih antara Kepolisian danKejaksaan
2.      Menjamin kepastian hukum dalam proses penyidikan
3.      Menyederhanakan dan mempercepat proses penyelesaian perkara
4.      Memudahkan pengawasan pihak atasan secara struktural.
Dalam pengelolaan sistem peradilan secara sistemik ini proses peradilan pidanadiselenggarakan secara terpadu. Dimulai dari adanya kejahatan baik yang dilaporkan olehmasyarakat maupun yang diketahui oleh Polisi sendiri. Tindakan yang dilakukan oleh Polisiselaku aparat penyidik adalah melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaanserta serangkaian tindakan penyidikan lainnya.
Apabila proses tersebut sudah selesai, ada duatindakan yang dapat dilakukan oleh Polisi.
Pertama, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) akandiserahkan kepada Kejaksaan apabila bukti-bukti sudah dianggap cukup.Kedua,mendeponirperkara dengan alasan karena perkara tersebut adalah perkara kecil dan tidak membahayakanmasyarakat, atau dengan alasan tidak cukup bukti-bukti yang dibutuhkan Pihak Kejaksaan setelah menerima BAP dari Polisi, melakukan tindakan-tindakansebagai berikut;
pertama apabila Penuntut Umum menganggap perkara itu patut untuk diajukanke Pengadilan, maka akan dibuat Surat Dakwaan. Proses pelimpahan perkara dari Kejaksaan kePengadilan ini disebut Penuntutan,
kedua Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutandangan alasan tidak terdapat cukup bukti atau ternyata bukan tindak pidana atau menutupperkara demi hukum.Hubungan deferensial fungsional antara Jaksa dengan Polisi dapat dilihat bahwa Jaksasebagai Penuntut Umum tugasnya adalah khusus melakukan penuntutan - kecuali terhadap delik-delik tertentu- Jaksa mempunyai wewenang untuk menyidik. Sedangkan Polisi khususnyabertugas sebagai penyidik.Selain hubungan koordinasi seperti tersebut di atas, masih ada hubungan koordinasifungsional antara aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaansebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan Hakim, serta hubungan Penyidik denganPengadilan/Hakim dalam proses prapenuntutan

2.      asas yang berlaku di dalam sistem peradilan di Indonesia.
Sistem peradilan pidana di indonesia yang berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut:
  1. Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun;
  2. Asas praduga tak bersalah;
  3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi
  4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
  5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
  6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sedehana;
  7. Peradilan yang terbuka untuk umum;
  8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
  9. Hak seseorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
  10. Kewajiban pengadilan dan mengendalikan putusannya.
Asas persamaan atau kesederajatan dimuka hukum, ini berarti tidak ada perbedaan perlakuan terhadap siapapun juga Pasal 5 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dengan tegas menyebutkan;
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
Dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat terciptanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Penjelasan umum angka 3 huruf a KUHAP mengatakan: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan’.
Asas Praduga Tak bersalah (Presumption of innocence) Asas ini disebut dalam undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. yang menjelaskan di Pasal 8 ayat (1) :

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Cara Mengurus Perceraian Non Muslim Jepara

-           Untuk Perkawinan bagi WNI beragama Kristen tunduk pada aturan-aturan yang diatur dalam pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perka...

Minggu, 09 Desember 2018

Gambaran Sistem Peradilan di Indonesia



ADVOKAT/PENGACARA & PENASEHAT HUKUM Jepara,Kudus,Demak,Semarang
1.              gambaran sistem peradilan pidana indonesia
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) pada dasarnya terbentuk sebagaibagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari bentuk - bentuk perilakusosial yang ditetapkan secara hukum sebagai suatu kejahatan. Di samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan pengendalian sosial oleh negara. Upaya memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat melalui Sistem PeradilanPidana merupakan rangkaian dari kegiatan instansional Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan danLembaga Pemasyarakatan. Yang semuanya bertolak dari acuan yang sama, yaitu perangkatkebijakan kriminal (criminal policy). Termasuk di dalamnya adalah hukum pidana, hukumacara pidana, dan undang-undang yang mengatur kekuasaan masing-masing subsistem peradilanpidana (UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Kehakiman, UU Lembaga Pemasyarakatan).
Hukum Acara Pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang undang Hukum AcaraPidana (KUHAP), UU No. 8 Tahun 1981 yang diundangkan dalam Lembar Negara (LN) No.76/1981 dan penjelasan dalam Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia (TLNRI) No.3209.Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana Nasionaltersebut, maka bangsa Indonesia telah selangkah lebih maju dalam usaha mengadakanpembaharuan hukum, yaitu dari hukum kolonial menjadi hukum nasional. Undang-undang yanglebih dikenal dengan KUHAP ini menjelaskan suatu perombakan total dari Hukum Acara PidanaKolonial yaitu HIR (Herzienne Indische Reglement). KUHAP memuat perubahan yang sangatmendasar dalam aturan secara pidana dan secara konseptual obyektivitas/keterbukaan,keprofesionalan aparat penegak hukum dalam melindungi hak asasi manusia.Hukum Acara Pidana dibentuk sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalammenegakkan hukum. Dalam Konsiderans KUHAP, memuat tentang alasan-alasan dibentuknyaKUHAP, antara lain :
1.      Agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya
2.      Untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsidan wewenang masing-masing
3.      Tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
4.      Ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai denganamanat UUD 1945.
 Untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum sebagaimana disebutkan di atas, dibutuhkansuatu organisasi yang cukup kompleks. Tanpa adanya organisasi tersebut hukum tidak bisadijalankan dalam masyarakat. Organisasi tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan danLembaga Pemasyarakatan serta badan perundang undangan. Melalui organisasi serta proses-proses yang berlangsung di dalamnya, masyarakat memperoleh perwujudan dari tujuan-tujuanhukum. Keadilan misalnya, kini tidak lagi diberikan kepada anggota masyarakat dalam bentuk konsep yang abstrak, melainkan benar-benar pensahan sesuatu. Kepastian hukum menjadi  
terwujud melalui keputusan-keputusan Hakim. Ketertiban dan keamananan menjadi sesuatu yangnyata melalui tindakan-tindakan Polisi yang diorganisir oleh Kepolisian.Dalam kerangka demikian, secara internal dan eksternal sistem peradilan harusberorientasi pada tujuan yang sama ( purposive behavior ). Pendekatannya harus bersifatmenyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar,operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value transformation)
keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan adanya mekanisme kontrol dalam rangkapengendalian secara terpadu.
Berarti terdapat juga kesamaan pendapat atau persepsi terhadap tujuan hukum acarapidana, sehingga masing-masing lembaga yang terkait dalam proses peradilan pidana tidak hanyamelihat kepentingannya, tetapi melihat keseluruhan kepentingan dari proses peradilan pidana. Proses Peradilan Pidana yang merupakan proses bekerjanya organisasi-organisasiterutama Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, menggunakankonsep penyelenggaraan dan pengelolaan peradilan menurut sistem yang dikenal dengan
systemapproach, yaitu penanganan secara sistemik terhadap administrasi peradilan.Pembagian tugas dan wewenang diantara masing-masing organisasi merupakan prinsipdiferensial fungsional.
Hal ini dimaksudkan untuk secara tegas menghindari adanya tumpangtindih dikarenakan telah adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas.Artinya,berdasarkan prinsip diferensial fungsional ini ditegaskan pembagian tugas dan wewenang antaraaparat penegak hukum secara instansional, dimana KUHAP meletakan suatu asas “penjernihan” dan modifikasi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.Penjernihan diferensiasi fungsi dan wewenang terutama diarahkan antara Kepolisian danKejaksaan seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 jo Pasal 1 butir 6 huruf a jo Pasal 13KUHAP. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa :
 
a.       Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipiltertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan(Pasal 1 butir 1 KUHAP)
b.      Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang olehundang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.( Pasal 1 butir 4 KUHAP)
c.       Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagaiPenuntut Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatanhukum tetap (Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP)
d.      Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim (Pasal 13 KUHAP).Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian NegaraRepublik Indonesia, tugas Kepolisian adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadapsemua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undanganlainnya. Secara rinci, tugas Polisi di bidang represif menurut Gerson W Bawengan adalahmenghimpun bukti-bukti sehubungan dengan pengusutan perkara, melakukan penahanan untuk kemudian diserahkan kepada Kejaksaan selaku Penuntut Umum untuk diteruskan ke Pengadilan.
Sedangkan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf a UU No. 16 Tahun 2004 TentangKejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan mempunyai wewenang dan tugas untuk melakukanpenuntutan. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa dalam melakukanpenuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan, yaitu serangkaian tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikandari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas hasil penyidikan yang diterima daripenyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukanapakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
Dengan demikian Jaksa selaku Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk menerimadan memeriksa Berkas Perkara Penyidikan dari Penyidik atau Penyidik Pembantu, mengadakan  
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal110 ayat (3) dan (4) KUHAP, serta serangkaian tindakan yang lain yaitu :
1.      memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik.
2.      memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan danatau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik.
3.      membuat surat dakwaan.
4.      melimpahkan perkara ke Pengadilan.
5.      menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkaradisidangkan, yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa, maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan
6.      melakukan penuntutan
7.      menutup perkara demi kepentingan hukum
8.      mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umummenurut ketentuan Undang-Undang ini
9.      melaksanakan penetapan Hakim.
 Pada tahap pra penuntutan, memang posisi Jaksa sebagai Penuntut Umum amatbergantung pada peran yang dimainkan oleh Polisi dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.Meskipun didalam KUHAP kewenangan Jaksa tidak lagi sebesar peranan yang dimain kannyaketika HIR masih berlaku, yang menyatakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan punmenjadi kompetensinya.Berdasarkan aturan-aturan KUHAP tersebut di atas, jelas dapat dilihat pembatasan yang tegas antara fungsi dan wewenang Kepolisian sebagai “Penyidik” dan Kejaksaan sebagai“Penuntut Umum” dan “Pelaksana Putusan Hakim”.Penjernihan pembagian fungsi dan wewenang yang diatur dalam KUHAP membawakemajuan dalam kehidupan penegakan hukum, khususnya dalam proses penyidikan. Karenaseringkali sebagai dampak campur aduknya tugas penyidikan dalam beberapa instansi,membawa tragedi pengalaman dan ketidakpastian hukum. Seorang tersangka yang sudah berbulan bahkan bertahun diperiksa, dan diproses verbal oleh Kepolisian, dengan   
pemeriksaan yang lama dan kadang bertele-tele, tidak jarang membuat tersangka kewalahan dantertekan batin. Akan tetapi belum sembuh beban fisik dan psikologis yang dialaminya, ia harusmenghadapi lagi pihak Kejaksaan untuk menyidiknya dengan pertanyaan yang kurang lebihsama, seperti yang pernah ditanyakan oleh penyidik dari pihak Kepolisian.
Hal demikianmenimbulkan pertanyaan, apakah proses penyidikan itu merupakan sebuah proses untuk mencaridan menemukan kebenaran, atau semata-mata hanya untuk menyiksa dan mempermainkan.Seringkali pada saat tersangka diperiksa oleh Kepolisian, dalam waktu yang bersamaan pihak Kejaksaan melakukan penyidikan. Sehingga timbul kesan terjadi persaingan, akibatnya seringdijumpai BAP yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain, yang membuatbingung tersangka dan sidang pengadilan.
 Untuk itu, prinsip diferensial fungsional mempunyai tujuan utama, yaitu :

1.      Untuk menghilangkan proses penyidikan yang tumpang tindih antara Kepolisian danKejaksaan
2.      Menjamin kepastian hukum dalam proses penyidikan
3.      Menyederhanakan dan mempercepat proses penyelesaian perkara
4.      Memudahkan pengawasan pihak atasan secara struktural.
Dalam pengelolaan sistem peradilan secara sistemik ini proses peradilan pidanadiselenggarakan secara terpadu. Dimulai dari adanya kejahatan baik yang dilaporkan olehmasyarakat maupun yang diketahui oleh Polisi sendiri. Tindakan yang dilakukan oleh Polisiselaku aparat penyidik adalah melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaanserta serangkaian tindakan penyidikan lainnya.
Apabila proses tersebut sudah selesai, ada duatindakan yang dapat dilakukan oleh Polisi.
Pertama, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) akandiserahkan kepada Kejaksaan apabila bukti-bukti sudah dianggap cukup.Kedua,mendeponirperkara dengan alasan karena perkara tersebut adalah perkara kecil dan tidak membahayakanmasyarakat, atau dengan alasan tidak cukup bukti-bukti yang dibutuhkan Pihak Kejaksaan setelah menerima BAP dari Polisi, melakukan tindakan-tindakansebagai berikut;
pertama apabila Penuntut Umum menganggap perkara itu patut untuk diajukanke Pengadilan, maka akan dibuat Surat Dakwaan. Proses pelimpahan perkara dari Kejaksaan kePengadilan ini disebut Penuntutan,
kedua Penuntut Umum dapat menghentikan penuntutandangan alasan tidak terdapat cukup bukti atau ternyata bukan tindak pidana atau menutupperkara demi hukum.Hubungan deferensial fungsional antara Jaksa dengan Polisi dapat dilihat bahwa Jaksasebagai Penuntut Umum tugasnya adalah khusus melakukan penuntutan - kecuali terhadap delik-delik tertentu- Jaksa mempunyai wewenang untuk menyidik. Sedangkan Polisi khususnyabertugas sebagai penyidik.Selain hubungan koordinasi seperti tersebut di atas, masih ada hubungan koordinasifungsional antara aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaansebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan Hakim, serta hubungan Penyidik denganPengadilan/Hakim dalam proses prapenuntutan

2.      asas yang berlaku di dalam sistem peradilan di Indonesia.
Sistem peradilan pidana di indonesia yang berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut:
  1. Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun;
  2. Asas praduga tak bersalah;
  3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi
  4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
  5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
  6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sedehana;
  7. Peradilan yang terbuka untuk umum;
  8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
  9. Hak seseorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
  10. Kewajiban pengadilan dan mengendalikan putusannya.
Asas persamaan atau kesederajatan dimuka hukum, ini berarti tidak ada perbedaan perlakuan terhadap siapapun juga Pasal 5 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 dengan tegas menyebutkan;
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
Dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat terciptanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Penjelasan umum angka 3 huruf a KUHAP mengatakan: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan’.
Asas Praduga Tak bersalah (Presumption of innocence) Asas ini disebut dalam undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. yang menjelaskan di Pasal 8 ayat (1) :

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.